Hutang obligasi pemerintah Indonesia : tinjauan perkembangan, struktur, dan risiko
Hutang pemerintah pada awalnya hanya berasal dari kreditur luar negeri, baik dari lembaga internasional maupun dari berbagai negara lain. Pada perkembangannya beban hutang pemerintah tidak hanya berasal dari luar negeri, namun juga dari dalam negeri. Bahkan dibandingkan dengan hutang luar negeri, sejak tahun 1999 hutang dalam negeri berkembang lebih cepat. Hutang dalam negeri pemerintah Indonesia seringkali dianggap sebagai biaya krisis karena timbul sebagai akibat kebijakan pemerintah dalam merestrukturisasi bank-bank yang terpuruk akibat krisis ekonomi pada tahun 1997. Kebijakan pemerintah tersebut diambil untuk menghindari risiko sistemik di perbankan. Hutang dalam negeri pemerintah pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah hutang pemerintah kepada Bank Indonesia yang sebagian besar merupakan konversi dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah disalurkan kepada bank-bank yang mengalami krisis likuiditas. Yang kedua berupa hutang obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk membiayai program rekapitalisasi perbankan. Hutang pemerintah dalam bentuk obligasi menimbulkan kekhawatiran pada pengaruhnya terhadap keuangan pemerintah. Hal itu disebabkan struktur obligasi dengan berbagai pilihan (tingkat bunga, jangka waktu, dan mata uang) memiliki tingkat risiko yang berbeda. Studi ini menggambarkan profil hutang obligasi pemerintah berdasarkan pilihan tingkat bunga, mata uang, jatuh tempo, dan cakupan kepemilikan. Selain itu, hutang obligasi pemerintah tersebut tentu membebani APBN sebab pemerintah setiap tahunnya harus membayar bunga dan juga pokok hutang yang jatuh tempo. Besarnya beban hutang obligasi pemerintah tersebut dapat dilihat dari perbandingannya dengan pengeluaran pemerintah di APBN baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan selama tahun 1999-2004. Berdasarkan profil obligasi pemerintah yang telah diterbitkan sampai dengan 25 Maret 2005 diketahui bahwa risiko terbesar yang dihadapi pemerintah adalah risiko pembiayaan kembali (refinancing risk) dan risiko tingkat bunga (interest risk). Risiko pembiayaan kembali berkaitan dengan struktur jatuh tempo obligasi pemerintah yang tidak merata (unbalance maturity profile), sehingga pada tahun 2007 s.d. 2010 pemerintah harus membayar pokok hutang dalam jumlah yang cukup besar. Sedangkan jumlah obligasi pemerintah dengan tingkat bunga variabel yang lebih besar dari obligasi bunga tetap menyebabkan portofolio hutang pemerintah cukup rentan terhadap perubahan tingkat bunga. Oleh sebab itu, untuk mengatasi risiko pembiayaan kembali perlu dilakukan reprofiling atas jatuh tempo obligasi dan membuat proyeksi pembiayaan pemerintah di masa mendatang. Selain itu pemerintah perlu senantiasa berkoordinasi dengan otoritas moneter untuk menjaga stabilitas tingkat bunga. Di sisi lain, berkembanganya pasar obligasi pemerintah di pasar sekunder memberikan dampak positif sebab pemerintah memiliki alternatif sumber pembiayaan. Ada tabel
Call Number | Location | Available |
---|---|---|
T 020/05 | PSB lt.2 - Karya Akhir | 1 |
Penerbit | Jakarta Magister Akuntansi FEUI., 2005 |
---|---|
Edisi | - |
Subjek | Debt Central government |
ISBN/ISSN | - |
Klasifikasi | - |
Deskripsi Fisik | ix, 102 p. : chart; 30 cm |
Info Detail Spesifik | - |
Other Version/Related | Tidak tersedia versi lain |
Lampiran Berkas | Tidak Ada Data |