Text
Ekonomi pariwisata : sejarah dan prospeknya
.Tonggak-tonggak sejarah dunia ditandai oleh banyaknya mobilitas manusia dari suatu tempat ke tempat yang lain. Mobilitas ini merupakan hal yang hakiki bagi manusia karena ia memilki rasa tidak puas terhadap satu tempat tertentu. Ini juga sangat dipengaruhi pula dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam zaman modern, pertambahan penduduk dan perkembangan social ekonomi yang ditunjang kemajuan mendorong manusia menjadi jauh lebih mobile daripada sebelumnya. Factor jarak, waktu, dan sarana tidak lagi merupakan masalah besar. Melalui bukunya ini, James Spillane akan lebih banyak lagi menyorot mengenai elemen-elemen pariwisata, mulai dari sejarah hingga pengaplikasiannya menjadi sebuah industri. Yang terpenting adalah, bagaimana penulis memaparkan usaha-usaha pemerintah zaman Orde Baru dalam mencari sumber devisa baru bagi Indonesia. Dan pariwisata dipilih sebagai salah satu jalan keluarnya.
SEJARAH PARIWISATA
Sejarah pariwisata diawali oleh adanya kebutuhan praktis dalam politik dan perdagangan. Di sector perdagangan, keinginan untuk mendapatkan keuntungan besar sering mendorong pedagang-pedagang mengadakan perjalanan jauh untuk mencari barang-barang berharga yang jarang ada di pasaran. Hal ini dicontohkan pada abad ke-16, ketika banyak pedagang dari Eropa yang berdatangan ke kepulauan Nusantara untuk membeli rempah-rempah. Perasaan ingin tahu juga menyebabkan sejarah pariwisata itu terjadi. Keinginan untuk mengetahui adat-istiadat masyarakat di daerah lain membuat seseorang pergi ke suatu tempat dengan hasilnya berupa suatu cerita yang ia bawa dari tempat tersebut. Sebut saja penjelajah-penjelajah yang telah lama kita ketahui, salah satunya adalah Ibn Batuta. Dari perjalanannya mengelilingi dunia, kita dapat mengetahui adat istiadat penduduk setempat, dan tentunya masih banyak lagi para penjelajah yang pulang membawa berbagai kisah. Tak ketinggalan, sejarah pariwisata juga dapat diawali pula oleh adanya dorongan keagamaan. Dorongan keagamaan membuat sesorang sering melakukan ziarah jauh ke tempat-tempat ibadah yang dihormati. Spillane mencontohkan dengan ziarah haji atau ritual naik haji yang dilakukan oleh masyarakat muslim. Mereka berbondong-bondong pergi ke Tanah Suci berlatarkan motif kecintaan mereka terhadap agama yang mereka anut.
Pariwisata merupakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi social, budaya, alam, dan ilmu. Yang berperan dalam pariwisata ini tentunya adalah pengunjung. Dalam karyanya ini, Spillane memaparkan beberapa definisi mengenai pengunjung. Disimpulkannya bahwa pengunjung dibagi menjadi dua, yaitu wisatawan dan pelancong. Wisatawan adalah pengunjung sementara yang tinggal sekurang-kurangnya 24 jam di Negara yang dikunjungi. Sedangkan pelancong adalah pengunjung sementara yang tinggal di Negara yang dikunjungi kurang dari 24 jam.
PERKEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATA
Setelah Perang Dunia II, industry pariwisata telah berkembang dengan pesat di berbagai Negara dan menjadi sumber devisa yang cukup besar bagi negara-negara yang mengelola sector kepariwisataan. World Tourism Organization (WTO) pada tahun 1978 melaporkan bahwa tingkat pertumbuhan arus wisatawan internasional ke Asia Pasifik jauh lebih tinggi daripada ke kawasan-kawasan lain. Apabila pada thun 1978 wisatawan asing yang melancong ke Asia Pasifik brjumlah 11,96 juta orang, maka untuk tahun 1980 meningkat menjadi sekitar 15 juta orang. Dari tahun 1973 hingga 1978 sendiri, terjadi peningkatan jumlah wisatawan asing ke negara-negara ASEAN dari 3,4 juta orang menjadi 6,2 juta orang.
Sejarah perkembangan industry pariwisata sendiri diawali ketika Thomas Cook melahirkan biro perjalanan pertama, dimana pada 5 Juli 1841 ia menyelenggarakan sebuah eksursi dari Leicester ke Loughborough, Inggris. Sedangkan di Hindia Belanda sendiri biro perjalanan muncul pada tahun 1926 yang diperkenalkan oleh biro perjalanan negeri Belanda, yaitu Lissone Lindeman (Lislind). Biro ini terus mengalami perkembangan hingga tahun 1950 ketika diambil alih oleh Indonesia dengan nama National Internastional Tourist Bureau (NITOUR). Pada tahap selanjutnya, biro perjalanan lain atau yang bersifat swasta bermunculan satu-persatu, sehingga cukup menjadi rival bagi NITOUR untuk berkembang di sektor pariwisata ini.
Pemerintah di sebagian negara secara langsung maupun tidak langsung turut membina pengembangan kepariwisataan masing-masing negaranya. Pengembangan pariwisata tidak dapat berdiri sendiri karena prosesnya selalu selaras dengan pengembangan sector-sektor lain. Sektor-sektor lain ini dapat dijabarkan dengan sektor pertanian, industry, dan lain-lain. Negara-negara berkembang seharusnya dapat memanfaatkan industry pariwisata dengan lebih baik karena potensi alam dan budaya yang besar dan tentu saja kedua hal ini dapat dijadikan modal untuk mengembangkan industry pariwisata di negaranya.
Mengelola kepariwisataan menjadi suatu industri bagi Indonesia dapat dikatakan sebagai sesuatu yang relatif baru. Apabila negara-negara tetangganya sudah sejak tahun 1960-an mengembangkan industri kepariwisatan, maka Indonesia baru memulainya menjelang tahun 1970-an. Soeharto menaruh perhatian besar terhadap pariwisata Indonesia pada saat itu. Oleh sebab itu, mulailah dibentuk badan-badan yang bergerak dalam mengatur pengembangan pariwisata Indonesia, seperti Dewan Pertimbangan Kepariwisataan Nasional; Sektor Pelaksanaan Kepariwisataan; Direktorat Jenderal Pariwisata; Badan Pengembangan Pariwisata Nasional (BAPPARNAS); dan Dinas Pariwisata Daerah (DIPARDA). Bahkan sector pariwisata termasuk pula dalam REPELITA. Spillane memaparkan mengenai gambaran mulai dari PELITA I hingga IV yang bergerak dalam bidang pariwisata, dan dapat disimpulkan bahwa program kerja mengenai peningkatan mutu pariwisata Indonesia terus digiatkan melalui setiap rencana pembangunan yang disusun. Salah satu target awal yang ingin dicapai melalui REPELITA ini adalah merehabilitasi semua objek wisata dan melakukan system upgrading terhadapnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah wisatawan untuk berkunjung ke obyek-obyek wisata di Indonesia.
ASPEK-ASPEK EKONOMIS PARIWISATA
Pengaruh pariwisata terhadap masyarakat daerah sebenarnya bersifat paradoks. Pada satu pihak, pariwisata dapat menggairahkan perkembangan kebudayaan asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsure kebudayaan yang hampir dilupakan. Pada lain pihak, pariwisata tadi mengubah motivasi berbagai unsure kebudayaan, seperti ritual yang tadinya dipersembahkan karena motivasi tradisi, menjadi motivasi yang bersifat komersil.
Berbicara mengenai aspek penawaran pariwisata itu sendiri tentunya sangat bergantung pula pada penciptaan kesempatan kerja. Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah mereka yang memiliki keterampilan teknis dan manajerial know-how. Maksudnya adalah, mereka dapat mengetahui seluk-beluk mengenai dunia pariwisata, bukan orang yang awam dan tentunya professional. Maka jelaslah pula, bahwa sifat pendidikan dan latihan yang diperlukan haruslah berdasarkan spesialisasi dan bukannya melebar. Penulis sangat menekankan bahwa tenaga kerja memiliki peranan yang sangat signifikan dalam mengembangkan industry pariwisata Indonesia. Selain tenaga kerja yang memadai, infrastruktur atau prasarana juga berperan penting dalam menciptakan industry pariwisata yang menguntungkan. Oleh sebab itu, statistic kepariwisataan, yang banyak dicantumkan oleh penulis, sangat diperlukan guna memantau peningkatan industry pariwisata di Indonesia. Dengan mengetahui informasi statistic tersebut pemerintah dapat mengarahkan perkembangan sector untuk kepentingan rakyat seoptimal mungkin.
EVALUASI DAN PENILAIAN TERHADAP PARIWISATA
Pariwisata menyangkut kepentingan segala lapisan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Pariwisata tidak boleh dianggap hanya sebagai urusan dari satu instansi pemerintah saja. Perencanaan dan pengembangan pariwisata harus mencakup masalah-masalah infrastruktur sarana dan fasilitas, social kebudayaan, lingkungan, dan sktor-sektor lainnya. Dalam hubungan ini, pariwisata harus ditangani oleh pemerintah sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terpadu.
Menurut Spillane, industry pariwisata pada akhirnya membawa keuntungan dan kerugian sendiri. Di satu pihak, memang benar bahwa sektor pariwisata selalu menghasilkan pendapatan yang besar dari negara. Namun, di sisi lain, tak hanya satu kerugian yang didapatkan oleh pemerintah. Paling tidak ada dua kerugian, yaitu yang berasal dari sektor kultural dan prekonomian. Spillane mejelaskan bahwa kerugian pada sektor perekonomian terjadi apabila tidak adanya koordinasi antar stake-holder dalam menjalankan industry ini.
Menarik apabila kita mengkaji mengenai buku ini lebih dalam lagi. Penulis tidak ketinggalan untuk memaparkan berbagai informasi atau data statistic yang sangat berguna dalam melihat gambaran perkembangan industry pariwisata dari tahun ke tahun. Namun, apabila merujuk pada judul buku ini sendiri, yaitu Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya, penulis dalam hal ini kurang detail membahas sejarah ekonomi pariwisata itu sendiri. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, karya ini tetap menjadi salah satu referensi utama yang direkomendasikan untuk mengolah topik “industry pariwisata”
Call Number | Location | Available |
---|---|---|
338.47 SPI e | PSB lt.1 - B. Penunjang | 1 |
Penerbit | Yogyakarta Kanisius., 1987 |
---|---|
Edisi | - |
Subjek | Tourism Economics industry Tourisme |
ISBN/ISSN | 979413404x |
Klasifikasi | NONE |
Deskripsi Fisik | 150 p. ; 21 cm |
Info Detail Spesifik | - |
Other Version/Related | Tidak tersedia versi lain |
Lampiran Berkas | Tidak Ada Data |