Logo

Pusat Sumber Belajar FEB UI

  • FAQ
  • Berita
  • Rooms
  • Bantuan
  • Area Anggota
  • Pilih Bahasa :
    Bahasa Inggris Bahasa Indonesia
  • Search
  • Google
  • Advanced Search
*sometimes there will be ads at the top, just scroll down to the results of this web
No image available for this title

Text

Perikanan di Nanggroe Aceh Darussalam pasca sunami : studi kasus perikanan tangkap di Banda Aceh dan Aceh Besar dan tambak udang di Pidie diajukan oleh Yudha Perdanatia Putera

Putera, Yudha Perdanatia - ; Lydia Napitupulu (Pembimbing/Promotor) - ;

Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi kelautan yang sangat besar. Hal tersebut tidak mengherankan jika melihat potensi laut Aceh tergolong luar biasa sebelum tsunami. Provinsi NAD, merupakan provinsi ujung Sumatera dan paling barat Indonesia, berada pada posisi antara 2 ? 6 derajad Lintang Utara dan 95 ? 98 derajad Bujur Timur. Letaknya sangat strategis pada jalur pelayaran dan penerbangan internasional. Selain itu, NAD juga memiliki letak geografis yang sangat menguntungkan, yaitu: Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, Sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, Sebelah barat berbatasan sengan Samudera Indonesia, Sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka. Dengan tinggi rata-rata 125 m diatas permukaan laut, Aceh memiliki 119 buah pulau besar dan kecil yang mengelilinya. Luas Aceh keseluruhan adalah adalah 57.365,57 km atau 5.736.757 ha, yang terdiri dari hutan, areal pertanian, padang rumput, kota, kampung, danau, sungai, pegunungan, dan lain-lain. Dengan lokasi geografis tersebut, tidaklah mengherankan jika kebanyakan penduduk NAD berprofesi sebagai nelayan dan petambak. Tahun 2004 jumlah nelayan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara keseluruhan sebanyak 85.127 orang yang tersebar di pantai barat sebanyak 39.589 orang dan di pantai timur sebanyak 45.538 orang. Sedangkan jumlah pembudidaya ikan sebanyak 32.708 orang yang tersebar di 21 kabupaten/kota. Ketika bencana tsunami menghantam Provinsi NAD pada akhir tahun 2004, menyebabkan menyebabkan kerusakan yang sangat parah pada infrastruktur kelautan. Alat tangkap maupun areal tambak penduduk NAD rusak berat dan menyebabkan mereka kehilangan lapangan pekerjaanya. Bantuan dari donatur pun mengalir ke NAD. Bantuan tersebut berupa alat tangkap bagi nelayan dan perbaikan areal tambak bagi petambak. Khusus untuk petambak, selain bantuan perbaikan areal tambak, mereka juga diberikan pengetahuan tentang pengelolaan tambak yang tidak merusak lingkungan (yang biasa disebut BMP) yang diberikan oleh WWF yang bekerja sama dengan NACA. Tulisan ini akan membahas tingkat upaya tangkap yang optimal yang sehingga tidak menyebabkan deplesi pada sumber daya perikanan. Selain itu juga akan dibahas cost benefit analysis dari penerapan teknik Best Management Practice (BMP) terhadap petambak, khususnya petambak Masjid Utue. Tulisan ini diharapkan dapat membantu menjelaskan tingkat upaya tangkap nelayan skala kecil sebelum dan sesudah tsunami, dan melakukan analisa mengenai keberlanjutan tingkat upaya tangkap saat ini. Selain itu juga dilakukan analisa biaya dan dan manfaat sosial dari teknik budidaya BMP, serta memberikan rekomendasi struktur insentif dan pembiayaan untuk pengembangannya. Ada tabel


Ketersediaan

Call NumberLocationAvailable
5824PSB lt.2 - Karya Akhir1
PenerbitDepok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2007
Edisi-
SubjekFishery economics
Aceh
Shrimps
ISBN/ISSN-
Klasifikasi-
Deskripsi Fisikxi, 123 p. ; diagr. ; 30 cm
Info Detail Spesifik-
Other Version/RelatedTidak tersedia versi lain
Lampiran BerkasTidak Ada Data

Pencarian Spesifik
Where do you want to share?