Text
Meretas ekonomi berbagi ( unveiling the concepts of sharing economy )
Manusia pada hakekatnya adalah mahluk berbagi. Sejarah perjalanan manusia menunjukkan bahwa konsep berbagi sudah dikenal sejak jaman homo sapiens purba. Mereka berburu bersama dan membagi hasil buruannya. Demikian pula ketika peradaban manusia sudah sampai pada tahapan menetap dan bercocok tanam. Mereka berbagi pengetahuan dan lahan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Berbagi adalah hakekat dasar dari sifat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adam Smith (1776) dan David Ricardo (1817) sudah menjelaskan konsep ekonomi berbagi melalui perilaku rent seeking, di mana manusia pada hakekatnya bisa memperoleh tambahan keuntungan dengan cara menyewakan sumber daya berlebih (underutilized resources) yang dia miliki kepada pihak lain yang membutuhkan. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi sumber daya. Lloyd (1833) dan Hardin (1968) dalam Tragedy of Commons menjelaskan bahwa sumber daya strategis yang dikuasai oleh pihak tertentu secara berlebihan akan menimbulkan tragedi bagi manusia lain dan lingkungannya. Kesejahteraan akan meningkat bila sumber daya tersebut dibagikan dan digunakan secara bersama. Dalam keseharian manusia modern, konsep ekonomi berbagi juga sudah dikenal lama. Bentuk yang paling sederhana dari konsep ekonomi berbagi adalah pinjam meminjam uang antar tetangga. Bank pada hakekatnya juga menerapkan konsep ekonomi berbagi, di mana bank mempertemukan antara pemilik sumber daya (para deposan) dan pemakai sumber daya (para peminjam). Lalu mengapa konsep ekonomi berbagi dipandang sebagai sesuatu yang baru ketika menjelaskan fenomena Uber, AirBnB, GoJek dan perusahaan sejenis? Di mana letak perbedaannya? Fenomenanya sendiri memang sangat menghebohkan dunia bisnis saat ini. Uber yang sama sekali tidak memiliki aset berupa taksi adalah perusahaan taksi terbesar di dunia. Bahkan nilai perusahaan yang baru berdiri kurang dari 8 tahun ini sebesar 68,8 miliar dollar AS, lebih besar dibandingkan nilai perusahaan dari raksasa otomotif Amerika, yaitu Ford, General Motor dan Chrysler. AirBnB saat ini sudah menjadi perusahaan penyedia akomodasi terbesar di dunia, walaupun tidak memiliki aset berupa hotel dan properti. Alibaba yang didirikan oleh Jack Ma pada tahun 1999 saat ini adalah toko ritel terbesar di dunia, walaupun juga tidak memiliki aset berupa toko. Kapitalisasi pasarnya sudah melebihi toko buku online terbesar di dunia, Amazon, yang juga tadinya tidak punya aset fisik berupa toko buku. Di ranah nasional, fenomena serupa juga terjadi. GoJek sudah bukan lagi hanya perusahaan ?ojek? terbesar di Indonesia, tetapi sudah merambah ke jasa logistik (GoBox), pengiriman makanan (GoFood) bahkan sampai ke jasa pijat (GoMassage). Padahal mereka juga tidak memiliki aset berupa kendaraan. Traveloka adalah perusahaan penyedia layanan tiket pesawat dan hotel terbesar di Indonesia, mengalahkan para pemain tradisional travel agent seperti seperti Anta Group, Panorama dan Bayu Buana. Bukalapak yang sama sekali tidak punya lapak adalah pasar daring (online marketspace) terkemuka di Indonesia yang menyediakan sarana penjualan dari konsumen ke konsumen. Perubahan yang dramatis ini tentu menggoyang kemapanan para pemain tradisional di industri masing-masing. Disruptive innovation ini mengubah tatanan bisnis (business landscape) dan bahkan menjadikan bisnis semakin sulit dan rumit untuk diramalkan. Gebrakan usaha-usaha rintisan (start-up companies) yang menggerogoti para petahana (incumbents) seolah tidak menyediakan ruang gerak sama sekali bagi petahana. Sumber keunggulan bersaing (competitive advantage) tradisional kelihatan menjadi usang dengan munculnya pemain-pemain baru yang berbasis teknologi. Tidak ada orang yang bisa meramalkan dengan pasti, apakah fenomena ini akan berkelanjutan dan menjadi sebuah model bisnis masa depan yang menjanjikan. Atau sebaliknya ini hanyalah sebuah gelembung hampa (bubble) yang bisa meletus, sama seperti bubble yang terjadi pada dunia dot.com pada tahun 1990-an dan meletus pada tahun 2001. Yang jelas, kita sebagai pelaku bisnis tidak boleh ketinggalan kereta. Peluang bisnis yang muncul dengan model bisnis ekonomi berbagi layak dijajagi tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian. Pendekatan real option investment bisa menjadi solusinya. Pemerintah sendiri harus peka dan bersikap adil serta tidak bisa menolak mentah-mentah kemajuan teknologi. Bahkan pemerintah harus mendukung perkembangan perusahaan ekonomi berbagi domestik untuk mampu bersaing, baik di ranah nasional maupun regional/global. Di dunia akademis, diperkirakan ini bakalan menjadi sebuah trending topic yang menarik untuk dikuak secara lebih mendalam. Para akademisi berusaha menjelaskan fenomena ekonomi berbagi dengan menggunakan teori-teori terkait. Akar filosofosifnya adalah Stakeholders Theory of the Firm oleh Freeman (1984). Fenomena ini juga bisa dijelaskan dengan Transaction Cost Economy (Koase, 1937; Williamson, 1977), Strategic Alliance (Inkpen dan Beamish, 1997; Luo, 2003), The Theory of the Growth of the Firm (Penrose, 1959), Resource Based Theory (Barney, 1986), Resource Orchestration (Sirmon et. al., 2007), Path Dependence, Generic Strategy and Competitive Strategy (Porter 1980, 1985), Competing for the Future (Hamel and Prahalat, 1990), Dynamics Capabilities (Teece et. al., 1997, 2007) dan tentu saja Creative Destruction (Schumpeter, 1942). Metafora ekonomi berbagi juga bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dalam dunia politik. Kalau dalam bisnis para pelaku memperebutkan sumber keunggulan bersaing (competitive advantage), maka dalam politik yang diperebutkan adalah sumber keunggulan politik (political advantage). Secara tradisional satu-satunya sumber keunggulan politik adalah melalui partai politik. Fenomena Teman Ahok bisa menjadi contoh yang menarik sebagai sumber keunggulan politik yang baru. Dikutip dari kata pengantar Prof. Djisman Simandjuntak, PhD dalam buku Meretas Konsep Ekonomi Berbagi (Turino. 2016), ekonomi berbagi (sharing economy) memang sudah besar walaupun masih muda. Banyak pertanyaan yang harus diteliti tentangnya seperti akibatnya terhadap pengaburan batas antara urusan pribadi dan urusan komersial dengan segala akibat peliknya terhadap kehidupan perorangan, keluarga, kemasyarakatan dan kebijakan publik lokal, nasional, regional dan internasional. Mari kita sama ? sama cermati sesuai dengan bidang peran masing-masing. Semoga kita mampu menjadikan fenomena ekonomi berbagi untuk kemaslahatan kita. Seperti kata pepatah, ?Knowledge multiplies when share.?
Call Number | Location | Available |
---|---|---|
Tan 650 Tur m | PSB lt.dasar - Pascasarjana | 4 |
Penerbit | Tangerang Selatan Kepustakaan Populer Gramedia., 2016 |
---|---|
Edisi | - |
Subjek | Ekonomi Meretas Ekonomi Berbagi |
ISBN/ISSN | - |
Klasifikasi | NONE |
Deskripsi Fisik | - |
Info Detail Spesifik | - |
Other Version/Related | Tidak tersedia versi lain |
Lampiran Berkas | Tidak Ada Data |